Dunia memang penuh kejutan. Menjadi manusia yang tidak memiliki kontrol penuh untuk diri sendiri maupun lingkungan tetapi memiliki rasa untuk menjadi be..bas tentunya sangat menyebalkan. Kami terlalu sering untuk fokus pada hal-hal yang datar sehinga kita lupa kalau bumi ini berputar. Begitu juga dengan kejadian-kejadian yang muncul kepadamu tiba-tiba: malam hari digigit nyamuk hingga bentol super besar, atau kejadian seperti ditilang polisi, hingga ditinggalkan orang terkasih. Kekonyolan dari ketiba-tibaan waktu yang menyelakmu seenaknya, padahal kamu sudah mengantri untuk mendapatkan sesuatu, atau menemui seseorang. Tiba-tiba saja, waktu menghentikan dan merenggut segalanya, membuat permainan baru.
Sepulang dari kantor, aku tersenyum berser-seri memikirkan malam esok di mana aku akan menghabiskan waktu bersama Robin. Call it a movie date or whatever, knowing that he still wants to spend the time with me outside work is already a good thing. Maksudku, pada akhirnya pertemanan lebih berharga dibandingkan hubungan rekan kerja bukan? Sebenarnya ada satu alasan mengapa aku sangat menghargai dan mengaharapkan pertemananku dan Robin. Hal tersebut adalah ketulusan hati Robin pada semua orang, termasuk kepadaku sendiri. Robin pandai mengatur emosinya sendiri, membuat kotak-kotak layaknya folder di mana ia harus menetapkan perasaannya pada setiap orang: dia hanya tersenyum ketika berbicara dengan Mamak, dia mampu menyelinap untuk memberi pendapat kepada Pak Bos, dan dia juga tahu kapan dia tidak boleh bertanya dan memberi alasan.
Suatu hari kami pernah berpergian ke pabrik salah satu merk sepatu internasional yang berada di Sukabumi, Jawa Barat untuk shooting video pembuatan sepatu tersebut. Sepulang dari pabrik, Robin ingin mengunjungi rumah salah satu buruh pabrik yang memiliki anak yang menderita polio. Aku pun bertanya kepadanya, "Kok repot-repot ke rumahnya segala?"
Robin menatapku sesaat, terlihat lelah atau dengan ekspresi "plis deh!". Dia menghela nafas, "Na, mereka itu gak punya pilihan untuk jadi eksploitasi negara lain. Mereka enak mempekerjakan orang di sini: gaji buruh rendah, sumber daya alam murah. Terus kita gak ngelakuin apa-apa untuk mereka? Gue cuma gak mau aja sih mereka ikut ngerasa dijajah sama negara sendiri."
Aku hanya mengangguk mengerti.
"Ya, apalagi itu klien kita, Na. Gue ga enak, seolah-olah kita siding sama mereka." begitu jelasnya.
Aku hanya mengangguk, dan sekali lagi mengerti. Mungkin kepedulian Robin atau sebut saja caranya dalam memasukan perlakukan kepada semua orang dalam folder terpisah membuatku kagum: entah dia terlalu hati-hati atau terpaku pada dasar empati yang mendalam. Aku tahu bagaimana mendeskripsikan watak Robin: tulus. Ya, ketulusan yang selalu ia tunjukan kepada semua orang, termasuk buruh pabrik yang baru ia temui.
--
Aku tiba di kantor keesokan harinya sambil berseri-seri. Aku meletakan tasku di atas meja dan kemudian berjalan ke pantry untuk membuat kopi. Dalam pantry, ada beberapa anak strategi sedang berbincang-bincang. Aku tersenyum kepada mereka dan mulai menyiapkan kopiku. Setidaknya satu hari satu gelas dan aku bisa on seharian. Kedua anak strategi itu sedang membicarakan last day seseorang.
"Sayang banget sih, padahal editannya bagus." ujar Mbak Vida, social media strategist kami kepada Mbak Syamila, salah satu account executive agensi ini.
"Iya, klien gue suka banget sama scoring-nya! Pas banget, ningkatin retention juga!" balas Mbak Syamila.
Aku pun penasaran, dan ikut nimbrung. "Siapa Mbak yang resign?" tanyaku pada kedua orang itu.
"Si Robin, Na. Kamu sering juga kan kerja sama dia, ya? Jangan resign ya, Na. Awas lu!" ujar Mbak Vida sambil bercanda.
Aku yang sedang mengaduk-aduk kopiku, terdiam sesaat, speechless. Kok Robin gak bilang ya mau resign? Aku hanya tersenyum kepada kedua Mbak-mbak tersebut. "Lah kok resign tiba-tiba ya! he-he" begitu ujarku sambil ngacir kembali ke kubikelku dengan kopi hangat yang telah kubuat.
Resign? Kok bisa-bisanya resign! Baru mau nonton bareng hari ini, kenapa jadi malah resign? Maksudku, seenggaknya bilang dulu kek! Kenapa tiba-tiba jadi big plot twist begini kayak kehamilan Kylie Jenner?! Ah sudahlah. Memang siapa juga aku yang harus diceritakan kehidupan Robin?! Toh bukan siapa-siapa, bahkan baru hari ini kita bakalan hang out after work! Ah ini mah karena aku naksir berat aja jadi ngerasa miris, padahal kan biasa aja gak sih!
Oke, kembali bekerja walaupun tidak tenang.
---
Hari itu, hari terakhir Robin bekerja di studio kami. Semua orang menyambut hari terakhirnya dengan haru. Robin membawa lima lusin donat J.Co di hari terakhirnya: standar last day orang-orang. Banyak yang berfoto-foto dengannya, menyelamatinya, hingga menahannya untuk tidak resign. Aku memerhatikannya dari kejauhan sambil menggerutu sendiri. RESIGN? YANG BENER AJA! Nanti aku begadang dengan siapa?
Seusai makan siang, Robin mendatangi kubikelku.
"Na, hari ini last day-ku loh." ujarnya, memulai pembicaraan.
Aku tersenyum padanya, "Yaudah nanti kita rayain pas nonton yah. Kamu yang traktir loh!" balasku, agak sok cool seolah-olah tidak peduli dengan Robin mengundurkan diri.
"Nanti kamu begadang sama siapa kalo aku resign?" canda Robin membuat telingaku panas.
"Makanya, bilang-bilang kalau resign biar aku cari cadangan!" ujarku ketus sambil mengailhkan pandanganku ke arah layar laptop-ku.
"Kita tetep in contact ya walaupun aku udah gak begadang sama kamu!" balasnya.
"Ya.. paling nanti kamu udah kerja di tempat yang lebih enak jadi sombong." jawabku skeptis.
"Justru kalau aku resign kayaknya kita bakal sering main bareng deh!" begitu balasnya sambil tertawa kembali ke kubikelnya.
Huh! Gimana caranya main bareng kalau gak ketemu di kantor? Ada-ada saja.
No comments:
Post a Comment