Friday, March 27, 2015

Kembali lagi,

Saat itu aku sedang menghabiskan waktu kosong di kampus, duduk sejajar dengan manusia-manusia seni. Seni visual. Kemudian, dia memaksa untuk memperlihatkan tulisanku kepada pakar seni visual itu. Aku menolak pada walnya, karena aku menggunakan banyak kata "ngentot" belakangan ini. Tetapi tetap juga dia perlihatkan. Pakar seni itu berkata, "Kau tahu? Aku melihat Iwan Simatupang dalam tulisanmu."

Kembali lagi pada dua tahun lalu. 
Di mana guruh aneh itu menyuruhku untuk membaca salah satu buku terbaik yang pernah aku baca, "Ziarah", karya Tuan Simatupang itu.

Kembali lagi pada bagian,
"Tokoh kita, seorang pelukis yang terkenal, yang lukisannya memikat banyak orang, Beliau bingung akan diapakan kekayaannya, memutuskan untuk bunuh diri dengan melompat dari sebuah bangunan. Ketika tokoh kita melompat, ia menimpa seorang gadis cantik. Kemudian dia jatuh cinta dengan gadis tersebut, dan menyetubuhinya di tengah jalan itu. Orang-orang histeris melihat tingkah lakunya, kemudian pelukis dan gadis ini dibawa ke kantor sipil untuk dinikahkan."

Kembali lagi pada hari itu,
Di mana aku menceritakan pada Aziz, bagian cerita tersebut. Aziz mengatakan, mungkin maksud Tuan Simatupang tidak sekedar menunjukan keabsurdan, tetapi mungkin tragedi itu memiliki falsafah tersendiri.

Kembali pada hari ini,
Saat aku mencari arti, tragedi dalam Ziarah.
Bunuh diri, hal yang tokoh kita lakukan di saat tujuan hidupnya telah tercapai. Tapi apakah tujuan dari hidup itu sendiri? Ketika ketinginan terpenuhi, apa lagi yang harus dilakukan? Akhirnya tokoh kita memutuskan untuk mati. Namun apakah tujuan dari mati itu sendiri? Menghentikan kehidupan? Apakah arti dari kehidupan itu sendiri? Detak jantung yang masih berputar, ataukah harapan yang masih terus mengalir? Apakah seseorang yang mati dikatakan mati jika masih ada yang mengharap padanya? 

Apakah hidup akan selalu ada, ketika subjek yang dikatakan mati masih ada?
Graham Bell, misalnya. Apakah kita dapat menganggapnya mati, jika jutaan orang masih mengharap pada penemuannya? Bukankah pada dasarnya, eksistensi Beliau masih ada? Begitu juga dengan Tuan Simatupang, yang mempertahankan kehidupannya melalui tulisannya. Begitu juga saya.

Bunuh diri adalah lanjutan dari keputusasaan. Namun tidakkah kita sadar saat hajat berada di ujung harap, tidakkah harap akan muncul kembali, seketika? Kita yang hidup, dapat mati kapan saja, dan dapat hidup kapan saja, menziarahi diri sendiri saat harapan muncul kembali, (saat dia menyetubuhi gadis tersebut). Dan kita akan mati kembali, saat harap sudah menghilang lagi, dan hidup kembali, menziarahi harapan-harapan yang pernah menghilang. 

Begitulah terus terjadi, tragedi ziarah.


No comments:

Post a Comment